Fuad Syarif Hidayatullah

Dalam Kesendirian Tetap Berdakwah

Rabu, 18 Juni 2014 | 0 komentar

Sebuah kenikmatan yang sangat besar ketika hati ini di perkenankan untuk ambil bagian dalam dakwah Islam, sebuah amanah yang pernah di kerjakan oleh orang yang paling mulia dan sangat di cintai Allah subhanahu wa ta’ala, Yaitu Nabi agung Muhammad sallallah alihi wa sallam, juga penerus jejak dakwah beliau karena sentuhan dakwah yang beliau sampaikan sehingga mengakar begitu kuat kepada setiap orang yang beliau jumpai.

Begitupula para penerus generasi dakwah dari masa kemasa akan terus memperjuangkan dakwah islam, mereka menghabiskan berjam jam untuk menelaah buku buku, menembus rimba hutan belantara, menapaki beribu kilo meter dengan riang gembira, sampai  terkadang nyawa  adalah sebuah taruhan demi dakwah islam, begitulah ketika hati  di hiasi dengan gelora dakwah islam, kita pernah mendengar banyak ulama dalam kesendirian mereka walau di kurung dalam  jeruji besi karena sifat dengki penguasa yang dzolim, terkunci rapat dalam ruangan yang sempit, di jaga super ketat tidak akan pernah melunakkan dakwah, karena sifat dakwah adalah menembus semua pembatas, orang orang tersebut  hannya ingin dakwah itu masuk pada setiap lubuk hati manusia, sehingga mereka bisa merasakan lezatnya bermanhaj salaf soleh.

Suatu kali Ibnu Qoyyim al-jauziyyah mendengar gurunya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata "orang yang terpenjara sebenarnya adalah orang yang hatinya terpenjara dari rabbnya, orang yang tertawan sebenarnya  adalah orang yang tertawan oleh hawa nafsunya".

Bagaimana jadinya kalau jiwa-jiwa yang sendiri itu berkumpul untuk merapat dalam satu barisan, tersusun rapi dalam bingkai ukhuwah kerinduan, sama-sama berdiri memegang dakwah dengan keahlian masing masing tanpa harus mendorong atau memaksa beralih dari keahliaannya, suatu tekad untuk mengusung dakwah yang pernah di bawa oleh Nabi sallallah alaihi wa sallam, sebagai seorang murobbi yang melahirkan generasi terbaik, seorang pemimpin yang bisa memberikan ruang berkarya bagi orang yang di bawah kepemimpinan beliau, kita rindu dakwah itu berjalan sesuai bakat yang dimiliki oleh siapa saja, selama tidak melanggar batas batas syar’I, sebagaimana sahabat sahabat Nabi dengan keahlian yang berbebeda beda dengna posisi jabatan yang berbeda beda tapi hati mereka satu. Yaitu bermanhaj akidah yang benar sesuai apa yang di yakini oleh Nabi, beribadah tidak keluar dari apa yang beliau ajarkan, berakhlak sebagaimana akhalak beliau. Itulah inti dari sebuah dakwah yang ingin di sebarkan.

Dakwah itu memerlukan energi yang cukup agar dapat menerangi dan membimbing, merajut yang masih terurai dan merapikan yang belum rapi , agar terlihat indah, karena sifat dakwah itu mempesona dan indah, dengan cara yang sesuai sebagaiman disebutkan dalam Sohih bukhori "berbicaralah terhadap orang orang apa yang bisa di mengerti oleh mereka"  lalu Sahabat Ali Rodlia Allah anhu berkata "berbicaralah terhadap orang apa yang bisa di mengerti, apakah kamu suka Allah dan rosulnya di dustakan" di sebutkan dalam Adab Syar’iyyah  Robi berkata "saya mendengar Imam Syafi’I berkata" seandainya Muhammad bin Hasan berbicara sesuai dengan kemampuan akalnya, pasti kita tidak bisa memahaminya, tapi dia berbicara dengan kita sesuai dengan kemampuan akal kita, sehingga kita bisa mengerti. Kalau kita melihat karya ulama seperti hal Imam Nawawi – Rohimallah – beliau menulis buku seperti kitab Al-Majmu, kitab Fikih bermadzhab Syafi’I sebagai sumber rujukan dengan kekuatan ilmiyyah yang mendalam, itu diperuntukkan  khusus bagi para ulama, tapi dalam lain kesempatan beliau juga menulis kitab Riadussolihin, dengan bahasa yang sederhana dan semua sepakat tentang itu, karena beliau mengerti apa yang di butuhkan oleh orang, beliau berbicara dengan apa yang bisa di mengerti. (Abu Sufyan)
Continue Reading

Wanita Syi’ah yang Malang (Kisah Nyata dari Bandung)

Jumat, 13 Juni 2014 | 0 komentar

Untuk kedua kalinya wanita itu pergi ke dokter Hanung, seorang dokter spesialis kulit dan kelamin di kota Bandung. Sore itu ia datang sambil membawa hasil laboraturium seperti yang diperintahkan dokter dua hari sebelumnya. Sudah beberapa Minggu dia mengeluh merasa sakit pada waktu buang air kecil (drysuria) serta mengeluarkan cairan yang berlebihan dari vagina (vagina discharge).

Sore itu suasana di rumah dokter penuh dengan pasien. Seorang anak tampak menangis kesakitan karena luka dikakinya, kayaknya dia menderita Pioderma. Disebelahnya duduk seorang ibu yang sesekali menggaruk badannya karena gatal. Di ujung kursi tampak seorang remaja putri melamun, merenungkan akne vulgaris (jerawat) yang ia alami.

Ketika wanita itu datang ia mendapat nomor terakhir. Ditunggunya satu per satu pasien yang berobat sampai tiba gilirannya. Ketika gilirannya tiba, dengan mengucap salam dia memasuki kamar periksa dokter Hanung. Kamar periksa itu cukup luas dan rapi. Sebuah tempat tidur pasien dengan penutup warna putih. Sebuah meja dokter yang bersih. Dipojok ruang sebuah wastafel untuk mencuci tangan setelah memeriksa pasien serta kotak yang berisi obat-obatan.

Sejenak dokter Hanung menapat pasiennya. Tidak seperti biasa, pasiennya ini adalah seorang wanita berjilbab rapat. Tidak ada yang kelihatan kecuali sepasang mata yang menyinarkan wajah duka. Setelah wawancara sebentar (anamnese) dokter Hanung membuka amplop hasil laboratorium yang dibawa pasiennya. Dokter Hanung terkejut melihat hasil laboratorium. Rasanya ada hal yang mustahil. Ada rasa tidak percaya terhadap hal itu. Bagaimana mungkin orang berjilbab yang tentu saja menjaga kehormatannya terkena penyakit itu, penyakit yang hanya mengenai orang yang sering berganti-ganti pasangan seksual.
Dengan wajah tenang dokter Hanung melakukan anamsese lagi secara cermat.

# “Saudari masih kuliah?”
# “Masih Dok”
# “Semester berapa?”
# “Semester tujuh Dok”
# “Fakultasnya?”
# “Sospol”
# “Jurusan komunikasi massa ya?”

Kali ini ganti pasien terkahir itu yang kaget. Dia mengangkat muka dan menatap dokter Hanung dari balik cadarnya.

# “Kok dokter tahu?”
# “Aah,…….. tidak, hanya barang kali saja!”

Pembicaraan antara dokter Hanung dengan pasien terakhirnya itu akhirnya seakan-akan beralih dari masalah penyakit dan melebar kepada persoalan lain yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan masalah penyakit itu.

# “Saudari memang penduduk Bandung ini atau dari luar kota?”

Pasien terkahirnya itu tampaknya mulai merasa tidak enak dengan pertanyaan dokter yang mulai menyimpang dari masalah-masalah medis itu. Dengan jengkel dia menjawab.

# “Ada apa sih Dok …. Kok tanya macam-macam?”
# “Aah enggak,… barangkali saja ada hubungannya dengan penyakit yang saudari derita!”

Pasien terkahir itu tampaknya semakin jengkel dengan pertanyaan dokter yang kesana-kemari itu. Dengan agak kesal ia menjawab:

# “Saya dari Pekalongan”
# “Kost-nya?”
# “Wisma Fathimah, jalan Alex Kawilarang 63”
# “Di kampus sering mengikuti kajian islam yaa”
# “Ya, … kadang-kadang Dok!”
# “Sering mengikuti kajian Bang Jalal?”

Sekali lagi pasien itu menatap dokter Hanung.

# “Bang Jalal siapa?”

Tanyanya dengan nada agak tinggi.

# “Tentu saja Jalaluddin Rahmat! Di Bandung siapa lagi Bang Jalal selain dia… kalau di Yogya ada Bang Jalal Muksin”
# “Ya,…. kadang-kadang saja saya ikut”
# “Di Pekalongan,… (sambil seperti mengingat-ingat) kenal juga dengan Ahmad Baraqba?”

Pasien terakhir itu tampak terkejut dengan pertanyaan yang terkahir itu, tetapi dia segera menjawab

# “Tidak! Siapa yang dokter maksudkan dengan nama itu dan apa hubungannya dengan penyakit saya?”

Pasien terakhir itu tampak semakin jengkel dengan pertanyaan-tanyaan dokter yang semakin tidak mengarah itu. Tetapi justru dokter Hanung manggut-manggut dengan keterkejutan pasien terakhirnya. Dia menduga bahwa penelitian penyakit pasiennya itu hampir selesai.
Akhirnya dengan suara yang penuh dengan tekanan dokter Hanung berkata,

# “Begini saudari, saya minta maaf atas pertanyaan-pertanyaan saya yang ngelantur tadi, sekarang tolong jawab pertanyaan saya dengan jujur demi untuk therapi penyakit yang saudari derita,…”
Sekarang ganti pasien terakhir itu yang mengangkat muka mendengar perkataan dokter Hanung. Dia seakan terbengong dengan pertanyaan apa yang akan di lontarkan oleh dokter yang memeriksanya kali ini.
# “Sebenarnya saya amat terkejut dengan penyakit yang saudari derita, rasanya tidak mungkin seorang ukhti mengidap penyakit seperti ini”
# “Sakit apa Dok?”.

Pasien terakhir itu memotong kalimat dokter Hanung yang belum selesai dengan amat penasaran.

# “Melihat keluhan yang anda rasakan serta hasil laboratorium semuanya menyokong diagnosis gonore, penyakit yang disebabkan hubungan seksual”.
Seperti disambar geledek perempuan berjilbab biru dan berhijab itu, pasien terakhir dokter Hanung sore itu berteriak,
# “Tidak mungkin!!!”

Dia lantas terduduk di kursi lemah seakan tak berdaya, mendengar keterangan dokter Hanung. Pandang matanya kosong seakan kehilangan harapan dan bahkan seperti tidak punya semangat hidup lagi.
Sementara itu pembantu dokter Hanung yang biasa mendaftar pasien yang akan berobat tampak mondar-mandir seperti ingin tahu apa yang terjadi. Tidak seperti biasanya dokter Hanung memeriksa pasien begitu lama seperti sore ini. Barangkali karena dia pasien terakhir sehingga merasa tidak terlalu tergesa-gesa maka pemeriksaannya berjalan agak lama. Tetapi kemudian dia terkejut mendengar jerit pasien terakhir itu sehingga ia merasa ingin tahu apa yang terjadi.

Dokter Hanung dengan pengalamannya selama praktek tidak terlalu kaget dengan reaksi pasien terakhirnya sore itu. Hanya yang dia tidak habis pikir itu kenapa perempuan berjilbab rapat itu mengidap penyakit yang biasa menjangkiti perempuan-perempuan rusak. Sudah dua pasien dia temukan akhir-akhir ini yang mengidap penyakit yang sama dan uniknya sama-sama mengenakan busana muslimah. Hanya saja yang pertama dahulu tidak mengenakan hijab penutup muka seperti pasien yang terakhirnya sore hari itu. Dulu pasien yang pernah mengidap penyakit yang seperti itu juga menggunakan pakaian muslimah, ketika didesak akhirnya dia mengatakan bahwa dirinya biasa kawin mut’ah. Pasiennya yang dahulu itu telah terlibat jauh dengan pola pikir dan gerakan Syi’ah yang ada di Bandung ini. Dari pengalaman itu timbul pikirannya menanyakan macam-macam hal mengenai tokoh-tokoh Syi’ah yang pernah dia kenal di kota Kembang ini dan juga kebetulan mempunyai seorang teman dari Pekalongan yang menceritakan perkembangan gerakan Syi’ah di Pekalongan. Beliau bermaksud untuk menyingkap tabir yang menyelimuti rahasia perempuan yang ada didepannya sore itu.

# “Bagaimana saudari,… penyakit yang anda derita ini tidak mengenali kecuali orang-orang yang biasa berganti-ganti pasangan seks. Rasanya itu tidak mungkin terjadi pada seorang muslimah seperti diri anda. Kalau itu masa lalu saudari baiklah saya memahami dan semoga dapat sembuh, bertaubatlah kepada Allah, … atau mungkin ada kemungkinan lain,…?”

Pertanyaan dokter Hanung itu telah membuat pasien terakhirnya mengangkat muka sejenak, lalu menunduk lagi seperti tidak memiliki cukup kekuatan lagi untuk berkata-kata. Dokter Hanung dengan sabar menanti jawaban pasien terakhirnya sore itu. Beliau beranjak dari kursi memanggil pembantunya agar mengemasi peralatan untuk segera tutup setelah selesai menangani pasien terakhirnya itu.

# “Saya tidak percaya dengan perkataan dokter tentang penyakit saya!” katanya terbata-bata.
# “Terserah saudari,… tetapi toh anda tidak dapat memungkiri kenyataan yang anda sandang-kan?”
# “Tetapi bagaimana mungkin mengidap penyakit laknat tersebut sedangkan saya selalu berada di dalam suasana hidup yang taat kepada hukum Allah?”
# “Sayapun berprasangka baik demikian terhadap diri anda,… tetapi kenyataan yang anda hadapi itu tidak dapat dipungkiri?”

Sejenak dokter dan pasien itu terdiam. Ruang periksa itu sepi. Kemudian terdengar suara dari pintu yang dibuka pembantu dokter yang mengemasi barang-barang peralatan administrasi pendaftaran pasien. Pembantu dokter itu lantas keluar lagi dengan wajah penuh dengan tanda tanya mengetahui dokter Hanung yang menunggui pasien terakhirnya itu.

# “Cobalah introspeksi diri lagi, barangkali ada yang salah,… sebab secara medis tidak mungkin seseorang mengidap penyakit ini kecuali dari sebab tersebut”.
# “Tidak dokter,… selama ini saya benar-benar hidup secara baik menurut tuntunan syari’at islam,… saya tetap tidak percaya dengan analisa dokter!”.

Dokter Hanung mengerutkan keningnya men-dengar jawaban pasien terakhirnya itu. Dia tidak merasa sakit hati dengan perkataan pasiennya yang berulang kali mengatakan tidak percaya dengan analisanya. Untuk apa marah kepada orang sakit. Paling juga hanya menambah parah penyakitnya saja, dan lagi analisanya toh tidak menjadi salah hanya karena disalahkan oleh paiennya. Dengan penuh kearifan dokter itu bertanya lagi….

# “Barangkali anda biasa kawin mut’ah?”
Pasien terakhir itu mengangkat muka.
# “Iya dokter!” “Apa maksud dokter?”
# “Itukan berarti anda sering kali ganti pasangan seks secara bebas!”
# “Lho,… tapi itukan benar menurut syari’at Islam Dok!”
Pasien terakhir itu membela diri
# “Ooo,… jadi begitu,… kalau dari tadi anda mengatakan begitu saya tidak bersusah payah 
mengungkapkan penyakit anda. Tegasnya anda ini pengikut Syi’ah yang bebas berganti-ganti pasangan mut’ah semau anda. Ya itulah petualangan seks yang anda lakukan. Hentikan itu kalau anda ingin selamat”.
# “Bagaimana dokter ini, saya kan hidup secara benar menurut syari’at Islam sesuai dengan keyakinan saya, dokter malah melarang saya dengan dalih-dalih medis”.

Sampai disini dokter Hanung terdiam. Sepasang giginya terkatup rapat dan dari wajahnya terpancar kemarahan yang sangat terhadap perkataan pasien terakhirnya yang tidak punya aturan itu. Kemudian keluarlah perkataan yang berat penuh tekanan.

# “Terserah apa kata saudari membela diri,…. Anda lanjutkan petualangan seks anda. Dengan resiko anda akan berkubang dengan penyakit kelamin yang sangat mengerikan itu, dan sangat boleh jadi pada suatu tingkat nanti anda akan mengidap penyakit AIDS yang sangat mengerikan itu,…..atau anda hentikan dan bertaubat kepada Allah dari mengikuti ajaran bejat itu kalau anda menghendaki kesembuhan”.
# “Ma…maaf Dok, saya telah membuat dokter tersinggung!”
Dokter Hanung hanya mengangguk menjawab perkataan pasien terakhirnya yang terbata-bata itu.
# “Begini saudari,…tidak ada gunanya resep saya berikan kepada anda kalau toh tidak berhenti dari praktek kehidupan yang selama ini anda jalani. Dan semua dokter yang anda datangi pasti akan bersikap sama,…sebab itu terserah kepada saudari. Saya tidak bersedia memberikan resep kalau toh anda tidak mau berhenti”.
# “Ba…BBaik Dok,…Insya Allah akan saya hentikan!”
Dokter Hanung segera menuliskan resep untuk pasien yang terakhirnya itu, kemudian menyodorkan kepadanya.
# “Berapa Dok?”
# “Tak usahlah,…saya sudah amat bersyukur kalau anda mau menghentikan cara hidup binatang itu dan kembali kepada cara hidup yang benar menurut tuntunan yang benar dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Saya relakan itu untuk membeli resep saja”.
Pasien terakhir dokter Hanung itu tersipu-sipu mendengar jawaban dokter Hanung.
# “Terimah kasih Dok,…permisi!”

Perempuan itu kembali melangkah satu-satu di peralatan rumah Dokter Hanung. Ia berjalan keluar teras dekat bougenvil biru yang seakan menyatu dengan warna jilbabnya. Sampai digerbang dia menoleh sekali lagi ke teras, kemudian hilang di telan keramaian kota Bandung yang telah mulai temaran di sore itu.

“Dan tidaklah Kami menganiaya mereka tetapi merekalah yang menganiaya diri mereka sendiri.” (QS. Az-Zukhruf : 43)

Sumber: Buku Mengapa Kita Menolak Syi’ah, Hal.254-256, dikutip dari ASA edisi 5, 1411 H.
Dikutip dari Dunia-Islam.org
Continue Reading

Perjuangan Cinta

Kamis, 05 Juni 2014 | 0 komentar

Mencintai memang sarat makna dan rasa. Tak dapat dilukiskan dengan kata-kata. Mencintai berarti perjuangan dan pengorbanan. Mau berlelah-lelah hingga memetik hasil yang baik. Tidak sekedar baik, tetapi juga indah dan spektakuler. Begitulah energi cinta beraksi, yang semuanya tidak dapat diterjemahkan dengan goresan pena semata. Hanya Ia-lah yang sanggup memaknai dengan sebenar-benar makna. Ya, karena cinta itu milik-Nya, Ia-lah yang mampu menghidupkannya dan mengokohkannya, layaknya pohon yang menjulang tinggi, yang siapapun tak sanggup menumbangkannya tanpa kehendak-Nya. Ya, karena cinta-Nya, semua ini ada dan memberi makna terhadap kita.

Dengan cinta, apapun bisa diterobos, dilalui, dan diterjang walau sekuat apapun hadangan ombak, sebesar apapun gelombang penderitaan yang menyapa kita, dan serumit apapun persoalan-persoalan yang menerpa kita. Sesungguhnya, dengan cinta takkan ada dusta, dengan cinta takkan ada nista, dan dengan cinta takkan ada bandingannya kekokohan kita, karena cinta dari-Nya. Ya, karena cinta yang seperti itu hanya bisa kita raih dari-Nya dan kita pun hanya bisa memperolehnya dengan kekuatan cinta dari-Nya.

Cinta yang abadi adalah cinta yang hakiki. Cinta yang hakiki berasal dari Ilahi dan itu telah dihantarkan oleh panutan kita yang terbaik sepanjang masa, Rasulullah SAW. Beliau SAW menghantarkan cinta itu dengan perjuangan yang begitu hebat. Betapa tidak? Siang dan malam tidak henti-hentinya beliau SAW menyeru kepada umatnya untuk bisa merasakan nikmatnya mencintai-Nya. Untuk bisa menikmati celupan agama Islam ini yang diridhoi-Nya. Untuk bisa merasakan ketenangan batin dan kebahagiaan jiwa. Untuk bisa nantinya merasakan keabadian di ujung sana, surga-Nya. Untuk bisa merasakan indahnya berukhuwah. Indahnya berlomba-lomba dalam kebaikan. Indahnya menolong dan membina orang lain. Dan yang paling penting adalah beliau melakukan ini karena kecintaan beliau murni kepada-Nya, yang telah mengaruniai begitu banyak nikmat kepada beliau, termasuk dijaminkan surge oleh-Nya. Nikmat yang tak mampu lagi kata-kata ini melukiskannya.

“Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah.”  (QS. Al-Ahzab: 21)

“Sesungguhnya Allah dan para malaikat-Nya bersalawat untuk Nabi. Wahai orang-orang yang beriman! Bersalawatlah kamu untuk Nabi dan ucapkanlah salam dengan penuh penghormatan kepadanya.”  (QS. Al-Ahzab: 56)

Beliau SAW amat tidak tega bila melihat umatnya berjalan terseok-seok di jembatan Shirathalmustaqim kelak. Beliau amat tidak rela bila kita, sebagai umatnya, mendapatkan siksaan yang amat pedih di akhirat nanti. Beliau juga amat tidak ingin umatnya sengsara menghadapi hari akhir nanti, di mana dikumpulkan segala macam bukti perbuatan kita, baik perbuatan baik maupun perbuatan buruk. Juga, beliau amat ingin kita bersanding dengan beliau di surga-Nya, menjadi para tentara Allah di dunia, dan mereguk kenikmatan yang abadi di akhirat nanti. Berdampingan juga di majelis-majelis yang Allah SWT muliakan kelak. Majelis-majelis yang penuh dengan kebahagiaan dan cahaya keridhoan dari-Nya. Bayangkan sahabat, sungguh betapa cintanya beliau SAW kepada kita, umatnya ini. Beliau rela bersebrangan dengan para anggota keluarganya yang belum mau menerima cahaya Islam. Beliau juga berlapang dada ketika dijauhi oleh sanak saudara dan dianggap orang “gila”. Beliau juga berlapang dada ketika para pamannya, seperti Abu Lahab, Abu Sufyan, dan Abu Jahal beserta keluarganya, menghinanya dan mengganggunya. Pun, beliau ridho menerima bahwa kedua putrinya, Ruqayyah dan Ummu Kaltsum, diceraikan oleh kedua suaminya, yaitu Utbah dan Utaibah, putra dari Abu Lahab. Beliau juga ridho diolok-olok oleh kaum kafir Quraisy yang membencinya. Juga, beliau berlapang dada dan bersabar ketika dicaci maki dan dihujat sana-sini oleh orang-orang di sekelilingnya. Pun, beliau ridho ketika sekembalinya dari Thaif menuju Makah (karena tidak jadi berhijrah ke sana) dilempari batu oleh orang-orang yang tidak menyukai beliau SAW. Bayangkan sahabat, betapa tak ternilai pengorbanan beliau SAW dan para sahabat di masa itu, demi agar kita, umatnya, bisa meraih ketinggian agama Islam ini. Betapa kokoh dan gigihnya beliau SAW dan para sahabat berjuang menghadapi berbagai macam goncangan dan benturan di kala itu. Betapa perih dan pedihnya jalan-jalan yang beliau SAW dan para sahabat lewati di jalan dakwah ini. Dan pula, betapa kuatnya ketahanan ruhiyah beliau SAW dan para sahabat miliki dalam melalui hari-hari yang penuh dengan rintangan dan cobaan di masa itu. Semua itu dilakukan hanya untuk-Nya dan juga untuk kita, umatnya, yang beliau amat kasihi dan tidak rela bila kita merasakan kesulitan dan kesusahan kelak, baik di dunia dan di akhirat.

Lantas, bila sedemikian keras dan uletnya beliau SAW dan para sahabat berjuang demi kita, umatnya, layakkah kita menyia-nyiakan perjuangan mereka? Layakkah kita berleha-leha tidak mau menyambung dakwah ini? Pantaskah kita saat ini berdiam diri demi hanya untuk memenuhi kepentingan pribadi semata? Layakkah kita mengubur impian-impian para pendahulu kita – semoga Allah selalu merahmati mereka – yang telah dipancangkan begitu harum dan tinggi tentang keberkahan umat yang mereka sayangi?

Tentu tidak sahabat. Betapa lemahnya diri ini bila tidak mau melanjutkan perjuangan beliau. Betapa kita sebenarnya telah mengecewakan para pendahulu kita bila kita tidak berupaya dengan sungguh-sungguh dalam membumikan dakwah ini. Betapa kita tidak tahu berterima kasih kepada para pendahulu kita, yang kita cintai, yang telah mengorbankan harta dan jiwa mereka sepenuhnya demi dakwah ini. Betapa kita telah menyia-nyiakan segala nikmat yang kita terima bila kita tidak bersungguh-sungguh bersama-sama mengusung panji dakwah ini.

Renungkanlah sahabat, atas perjuangan-perjuangan kita belakangan ini. Sudahkah kita berupaya dengan seoptimal mungkin? Sudahkah kita memberikan waktu-waktu utama yang kita miliki hanya untuk dakwah ini? Sudahkah perjuangan-perjuangan kita dirasakan manfaatnya oleh saudara-saudara kita semua? Renungkanlah sahabat.

Maka hendaknya kita selalu mengintrospeksi diri, bermuhasabah, atas segala upaya dakwah yang telah kita lakukan saat ini. Bersama-sama dengan saudara-saudara kita yang lain, mari kita terus berjuang tiada henti, tinggalkan rasa malas, dan tingkatkan produktivitas dakwah kita agar kita bisa melihat wajah-Nya dan bersanding dengan beliau SAW beserta para pendahulu kita.

“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang-orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).”  (QS. Al-Anfal: 60)
Continue Reading
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Cahaya diatas Cahaya - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger