Fuad Syarif Hidayatullah
Home » » Hadhanah (Hak Asuh Anak Setelah Perceraian)

Hadhanah (Hak Asuh Anak Setelah Perceraian)

Minggu, 16 Februari 2014 | 0 komentar

A. Pengertian Hadhanah

Dalam istilah fiqh digunakan dua kata namun ditujukan untuk maksud yang sama yaitu kafalah dan hadhanah. Yang dimaksud dengan hadhanah atau kafalah dalam arti sederhana ialah pemeliharaan atau pengasuhan. Dalam arti yang lebih lengkap adalah pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya putus perkawinan.


Para ulama fiqih mendifinisikan hadhanah, yaitu melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadi kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani, rohani, dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya.

B. Hukum dan Dasar Hukum Hadhanah

Para ulama menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu hukumnya adalah wajib, sebagaimana wajib memeliharanya selama berada dalam ikatan perkawinan. Adapun dasar hukumnya mengikuti umum perintah Allah untuk membiayai anak dan istri dalam firman Allah pada surat Al-Baqarah ayat 233:

”adalah kewajiban ayah untuk memberi nafkah dan pakaian untuk mereka (anak dan istrinya).” (QS. Al-Baqarah: 233)

Kewajiban membiayai anak yang masih kecil bukanlah hanya berlaku selama ayah dan ibu masih terikat dalam tali perkawinan saja, namun juga berlanjut setelah terjadinya perceraian.

Apabila bercerai dua suami istri, maka hak memelihara anak dipegang ibu, sehingga anak tersebut sampai umur tujuh tahun. Sesudah itu ditakhyirkan (disuruh pilih kepada sang anak: siapa ia suka buat pemeliharaannya), lalu diserahka kepada siapa yang dipilih si anak itu.

C. Rukun dan Syarat Hadhanah

Pemeliharaan atau pengasuhan anak itu berlaku antara dua unsur yang menjadi rukun dalam hukumnya, yaitu orang tua yang mengasuh yang disebut hadhin dan anak yang diasuh yaitu mahdhun. Keduanya harus memenuhi syarat yang ditentukan untuk wajib dan sahnya tugas pengasuhan itu.

Ayah dan ibu yang akan bertindak sebagai pengasuh disyaratkan hal-hal sebagai berikut:
1) Sudah dewasa. Orang yang belum dewasa tidakakan mampu melakukan tugas yang berat itu, oleh karenya belum dikenai kewajiban dan tindakan yang dilakukannya itu belum dinyatakan memenuhi persyaratan.
2) Berfikir sehat. Orang yang kurang akalnya seperti idiot mampu berbuat untuk dirinya sendiri dan dengan keadaan itu tentu tidak akan mampu berbuat untuk orang lain.
3) Beragama islam. Ini adalah pendapat yang dianut oleh jumhur ulama, karena tugas pengasuhan itu termasuk tugas pendidikan yang akan mengarahkan agama anak yang diasuh. Kalau diasuh oleh orang yang bukan islam dikhawatirkan anak yang diasuh akan jauh dari agamanya.
4) Adil dalam arti menjalankan agama secara baik, dengan meningalkan dosa besar dan menjahui dosa kecil. Kebalikan dari adil dalam hal ini disebut fasiq yaitu tidak konsisten dalam beragam. Orang yang komitmen agamanya rendah tidak dapat diharapkan untuk mengasuh dan memelihara anak yang masih kecil.

Adapun syarat untuk anak yang akan diasuh (mahdhun) itu adalah:
1) Ia masih berada dalam usia kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri dalam mengurus hidupnya sendiri.
2) Ia berada dalam keadaan tidak sempurna akalnya dan oleh karena itu tidak dapat berbuat sendiri, meskipun telah dewasa, seperti orang idiot. Orang yang telah dewasa dan sehat sempurna akalnya tidak boleh berada di bawah pengasuhan siapa pun.

Bila kedua orang tua si anak masih lengkap dan memenuhi syarat, maka yang paling berhak melakukan hadhanah atas anak adalah ibu. Alasanya adalah ibu lebih memiliki rasa kasih sayang dibanding dengan ayah, sedang dalam usia yang sangat muda itu lebih dibutuhkan kasih sayang. Bila anak dalam asuhan seorang ibu, maka segala biaya yang diperlukan untuk itu tetap berada di bawah tanggung jawab si ayah.

Hak seorang ibu untuk merawat anaknya juga terdapat dalam sebuah hadis dari Abdullah bin Mas’ud menurut yang diriwayatkan Ahmad, Abu Daud, dan disahkan oleh hakim:

أَنَّ امرأةً قَالَتْ : يا رَسُولَ اللهِ إِنَّ ابني هذا كَانَتْ بَطْنِي له وِعَاء ، وَثَدْيِي لَهُ سِقَاء ، وحِجْرِي لَهُ حِوَاء ، وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقني ، وأراد أن ينزعه مني ، فقال لها رسول الله ( صلى الله عليه وسلم ) : " أَنْتِ أَحَقُّ به ما لم تُنْكَحِي " .

Artinya: Sesungguhnya seoarang perempuan berkata kepada Nabi: “Ya Rasul Allah, sesungguhnya anak saya ini perut saya yang mengandungnya, puting susu saya yang mengairinya dan haribaan saya yang memeluknya. Ayahnya telah menceraikan saya dan ingin memisahkan anak saya itu dari saya. Nabi SAW. bersabda: “engkau lebih berhak untuk mengurusnya selama engkau belum kawin.”

Dari hadis di atas jelaslah bahwa keutamaan ibu ditentukan oleh dua syarat yaitu: dia belum kawin, dan dia memenuhi syarat untuk melakukan tugas hadhanah. Bila kedua atau salah satu dari sayarat tersebut tidak terpenuhi, maka ibu tidak lebih utama dari ayah. Bila syarat itu tidak terpenuhi maka hak pengasuhan pidah kepada urut yang paling dekat yaitu ayah.

Bila anak laki-laki telah melewati masa kanak-kanak yaitu mencapai usia tujuh tahun, yang dalam fiqh dinyatakan sebagai mumayyiz, dan dia tidak idiot, antara ayah dan ibu berselisih dalam memperebutkan hak hadhanah, maka si anak diberi hak pilih antara tinggal bersama ayah atau ibunya untuk pengasuhan selanjutnya. Inilah pendapat sebagian ulama di antaranya Imam Ahmad dan al-Syafi’iy.

Golongan ini berpendapat demikian berdasarkan dengan sepotong hadis Nabi saw dari Abu Hurairah menurut riwayat Ahmad dan empat perawi hadis, disahkan oleh al-tirmiziy sebagai berikut:

" أنَّ امرأَةً جاءت إلى النَّبيِّ ( صلى الله عليه وسلم ) فقالت له : إنَّ زَوْجِي يُرِيدُ أَنْ يذْهَبَ بابني ، وقد سَقَانِي من بئرِ أبي عنبة وقد نفعني ، فقال النَّبيُّ لله ( صلى الله عليه وسلم ) : " اسْتَهِما عليه " فقال زوجها : من يحاقُّني في ولدي ؟ فقال النَّبيُّ ( صلى الله عليه وسلم ) : " هذا أبُوكَ ، وهذه أُمُّكَ ، فَخُذْ بِيد أيِّهمَا شِئْتَ " فأخذ بيد أُمه فانطلقت به " .

Artinya: Seorang perempuan berkata kepada Nabi SAW: “Ya Rasul Allah, sesungguhnya suami saya ingin membaca anak saya, sedangkan dia banyak membantu saya dan menimbakan air dari sumur Abu ‘Unbah, kemudian suaminya datang. Nabi berkata: “Hai anak, ini ayahmu dan ini ibumu: ambillah salah satu tangan di antara keduanya yang kamu senangi. Anak itu mengambil tangan ibunya dan berlalu bersamu ibunya itu.

Hak pilih diberikan kepada si anak bila terpenuhi dua syarat, yaitu:

1) Kedua orang tua telah memenuhi syarat untuk mengasuh sebagimana disebutkan di atas. Bila salah satu memenuhi syarat dan yang satu lagi tidak, maka tidak si anak diserahkan kepada yang memenuhi syarat, baik ayah atau ibu.
2) Si anak tidak dalam keadaan ideot. Bila anak dalam keadaan ideot, meskipun telah melewati masa kanak-kanak, maka ibu yang berhak mengasuh, dan tidak ada hak pilih untuk si anak.

D. Pengaruh Perceraian Terhadap Pengasuhan Anak Menurut KHI

Bila terjadi pemutusan perkawinan karena perceraian, baik ibu maupun bapak tetap berkewajiban memelihara dan medidik anak-anaknya semata-mata demi kepentingan si anak, jika terjadi perselisihan antara suami istri menenai penguasaan anak-anak mereka, pengadilan akan memutuskan tentang siapa yang akan menguasai anak tersebut.

Dalam KHI diatur pada bab XIV tentang pemeliharaan anak dari pasal 98-106, dan yang mengatur masalah kewajiban pemeliharaan anak jika terjadi perceraian hanya terdapat dalam pasal 105.

Pasal 105 berbunyi:

Dalam hal terjadinya perceraian:
a) Pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
b) Pemeliharaan anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah dan ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.
c) Biaya pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.

Kemudian dalam bab XVII tentang akibat putusnya perkawinan bagian ketiga tentang akibat perceraian dalam pasal 156 dijelaskan:

Pasal 156 berbunyi:

Akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah:
a) Anak yang belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali ibunya telah meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:
1.Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ibu.
2.Ayah.
3.Wanita-wanita dalam garis lurus ke atas dari ayah.
4.Saudara perempuan dari anak yang bersangkutan.
5.Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu.
6.Wanita-wanita kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
b) Anak yang sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya.
c) Apabila pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani anak, meskipun biaya nafkah dan hadanah telah dicukupi, maka atas permintaan kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.
d) Semua biaya hadhanah dan nafakah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).
e) Bilamana terjadi perselisihan mengenai hadhanah adan nafkah anak, Pengadilan Agama memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c) dan (d).
f) Pengadila dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak urut padanya.

E. Hikmah Mengasuh Anak

Hikmah mengasuh anak dilihat dari dua sisi:
1) Tugas laki-laki dalam urusan penghidupan dan masyarakat berbeda dengan tugas wanita. Perhatian seorang ibu terhadap anak lebih tepat dan lebih cocok, karena memelihara anak adalah merupakan keistimewaan ibu.
2) Seorang ibu itu mempunyai rasa belas kasihan lebih besar terhadap anaknya dibanding ayah.

Adapun hikmah yang terkandung, mengapa mengasuh anak laki-laki sampai berumur 7 tahun dan anak perempuan hingga berusia 9 tahun adalah karena anak laki-laki dalam usia 7 tahun sudah siap untuk menuntut ilmu pengetahuan, adab dan pendidikannya, serta kesempurnaan kehidupan materi dan segala yang mengandung kebahagiaan dunia dan akhirat. Sedangkan perempua lebih membutuhkan pemeliharaan terhadap kehidupannya. Dalam hal ini ibu lebih banyak berperan dibanding ayah. Selama dalam masa asuh, seorang ibu mengajarkan kepada anak perempuannya beberapa cara mengatur rumah tangga karena nanti pada akhirnya anak perempuan itu akan menjadi istri bagi suaminya dan sebagai ibu rumah tangga. Setelah masa asuh itu, ayah lebih berhak mendidiknya tentang pendidikan akhlak serta mengajarkan ilmu-ilmu agama dan segala yang akan mendidik dirinya dan memperbaiki akhlaknya agar bisa mendapatkan keutamaan dan kenikmatan dunia dan akhirat.

Artiel ini disusuan untuk memenuhi tugas makalah dalam mata kuliah "Hukum Perdata".
Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Cahaya diatas Cahaya - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger