A. Pengertian Hadhanah
Dalam istilah
fiqh digunakan dua kata namun ditujukan untuk maksud yang sama yaitu kafalah dan hadhanah. Yang dimaksud dengan hadhanah
atau kafalah dalam arti sederhana
ialah pemeliharaan atau pengasuhan. Dalam arti yang lebih lengkap adalah
pemeliharaan anak yang masih kecil setelah terjadinya putus perkawinan.
Para ulama fiqih
mendifinisikan hadhanah, yaitu melakukan
pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, baik laki-laki maupun perempuan, atau
yang sudah besar tetapi belum mumayyiz, menyediakan sesuatu yang menjadi
kebaikannya, menjaganya dari sesuatu yang menyakiti dan merusaknya, mendidik
jasmani, rohani, dan akalnya agar mampu berdiri sendiri menghadapi hidup dan
memikul tanggung jawabnya.
B. Hukum dan Dasar Hukum Hadhanah
Para ulama
menetapkan bahwa pemeliharaan anak itu hukumnya adalah wajib, sebagaimana wajib
memeliharanya selama berada dalam ikatan perkawinan. Adapun dasar hukumnya
mengikuti umum perintah Allah untuk membiayai anak dan istri dalam firman Allah
pada surat Al-Baqarah ayat 233:
”adalah kewajiban ayah untuk memberi nafkah
dan pakaian untuk mereka (anak dan istrinya).” (QS. Al-Baqarah: 233)
Kewajiban membiayai anak yang masih
kecil bukanlah hanya berlaku selama ayah dan ibu masih terikat dalam tali
perkawinan saja, namun juga berlanjut setelah terjadinya perceraian.
Apabila bercerai
dua suami istri, maka hak memelihara anak dipegang ibu, sehingga anak tersebut
sampai umur tujuh tahun. Sesudah itu ditakhyirkan (disuruh pilih kepada sang
anak: siapa ia suka buat pemeliharaannya), lalu diserahka kepada siapa yang
dipilih si anak itu.
C. Rukun dan Syarat Hadhanah
Pemeliharaan
atau pengasuhan anak itu berlaku antara dua unsur yang menjadi rukun dalam
hukumnya, yaitu orang tua yang mengasuh yang disebut hadhin dan anak yang diasuh yaitu mahdhun. Keduanya harus memenuhi syarat yang ditentukan untuk wajib
dan sahnya tugas pengasuhan itu.
Ayah dan ibu yang akan bertindak sebagai
pengasuh disyaratkan hal-hal sebagai berikut:
1) Sudah
dewasa. Orang yang belum dewasa tidakakan mampu melakukan tugas yang berat
itu, oleh karenya belum dikenai kewajiban dan tindakan yang dilakukannya itu
belum dinyatakan memenuhi persyaratan.
2) Berfikir
sehat. Orang yang kurang akalnya seperti idiot mampu berbuat untuk dirinya
sendiri dan dengan keadaan itu tentu tidak akan mampu berbuat untuk orang lain.
3) Beragama
islam. Ini adalah pendapat yang dianut oleh jumhur ulama, karena tugas
pengasuhan itu termasuk tugas pendidikan yang akan mengarahkan agama anak yang
diasuh. Kalau diasuh oleh orang yang bukan islam dikhawatirkan anak yang diasuh
akan jauh dari agamanya.
4) Adil
dalam arti menjalankan agama secara baik, dengan meningalkan dosa besar dan
menjahui dosa kecil. Kebalikan dari adil dalam hal ini disebut fasiq yaitu
tidak konsisten dalam beragam. Orang yang komitmen agamanya rendah tidak dapat
diharapkan untuk mengasuh dan memelihara anak yang masih kecil.
Adapun syarat untuk anak yang akan
diasuh (mahdhun) itu adalah:
1) Ia masih berada dalam usia
kanak-kanak dan belum dapat berdiri sendiri dalam mengurus hidupnya sendiri.
2) Ia berada dalam keadaan tidak
sempurna akalnya dan oleh karena itu tidak dapat berbuat sendiri, meskipun
telah dewasa, seperti orang idiot. Orang yang telah dewasa dan sehat sempurna
akalnya tidak boleh berada di bawah pengasuhan siapa pun.
Bila kedua orang
tua si anak masih lengkap dan memenuhi syarat, maka yang paling berhak
melakukan hadhanah atas anak adalah
ibu. Alasanya adalah ibu lebih memiliki rasa kasih sayang dibanding dengan
ayah, sedang dalam usia yang sangat muda itu lebih dibutuhkan kasih sayang.
Bila anak dalam asuhan seorang ibu, maka segala biaya yang diperlukan untuk itu
tetap berada di bawah tanggung jawab si ayah.
Hak seorang ibu
untuk merawat anaknya juga terdapat dalam sebuah hadis dari Abdullah bin Mas’ud
menurut yang diriwayatkan Ahmad, Abu Daud, dan disahkan oleh hakim:
أَنَّ
امرأةً قَالَتْ : يا رَسُولَ اللهِ إِنَّ ابني هذا كَانَتْ بَطْنِي له وِعَاء ،
وَثَدْيِي لَهُ سِقَاء ، وحِجْرِي لَهُ حِوَاء ، وَإِنَّ أَبَاهُ طَلَّقني ، وأراد
أن ينزعه مني ، فقال لها رسول الله ( صلى الله عليه وسلم ) : " أَنْتِ
أَحَقُّ به ما لم تُنْكَحِي " .
Artinya: Sesungguhnya
seoarang perempuan berkata kepada Nabi: “Ya Rasul Allah, sesungguhnya anak saya
ini perut saya yang mengandungnya, puting susu saya yang mengairinya dan
haribaan saya yang memeluknya. Ayahnya telah menceraikan saya dan ingin
memisahkan anak saya itu dari saya. Nabi SAW. bersabda: “engkau lebih berhak
untuk mengurusnya selama engkau belum kawin.”
Dari hadis di
atas jelaslah bahwa keutamaan ibu ditentukan oleh dua syarat yaitu: dia belum
kawin, dan dia memenuhi syarat untuk melakukan tugas hadhanah. Bila kedua atau salah satu dari sayarat tersebut tidak
terpenuhi, maka ibu tidak lebih utama dari ayah. Bila syarat itu tidak
terpenuhi maka hak pengasuhan pidah kepada urut yang paling dekat yaitu ayah.
Bila anak
laki-laki telah melewati masa kanak-kanak yaitu mencapai usia tujuh tahun, yang
dalam fiqh dinyatakan sebagai mumayyiz,
dan dia tidak idiot, antara ayah dan ibu berselisih dalam memperebutkan hak hadhanah, maka si anak diberi hak pilih
antara tinggal bersama ayah atau ibunya untuk pengasuhan selanjutnya. Inilah
pendapat sebagian ulama di antaranya Imam Ahmad dan al-Syafi’iy.
Golongan ini berpendapat
demikian berdasarkan dengan sepotong hadis Nabi saw dari Abu Hurairah menurut
riwayat Ahmad dan empat perawi hadis, disahkan oleh al-tirmiziy sebagai berikut:
" أنَّ امرأَةً جاءت إلى النَّبيِّ (
صلى الله عليه وسلم ) فقالت له : إنَّ زَوْجِي يُرِيدُ أَنْ يذْهَبَ بابني ، وقد
سَقَانِي من بئرِ أبي عنبة وقد نفعني ، فقال النَّبيُّ لله ( صلى الله عليه وسلم )
: " اسْتَهِما عليه " فقال زوجها : من يحاقُّني في ولدي ؟ فقال
النَّبيُّ ( صلى الله عليه وسلم ) : " هذا أبُوكَ ، وهذه أُمُّكَ ، فَخُذْ
بِيد أيِّهمَا شِئْتَ " فأخذ بيد أُمه فانطلقت به " .
Artinya: Seorang
perempuan berkata kepada Nabi SAW: “Ya Rasul Allah, sesungguhnya suami saya
ingin membaca anak saya, sedangkan dia banyak membantu saya dan menimbakan air
dari sumur Abu ‘Unbah, kemudian suaminya datang. Nabi berkata: “Hai anak, ini
ayahmu dan ini ibumu: ambillah salah satu tangan di antara keduanya yang kamu
senangi. Anak itu mengambil tangan ibunya dan berlalu bersamu ibunya itu.
Hak pilih
diberikan kepada si anak bila terpenuhi dua syarat, yaitu:
1) Kedua orang tua telah memenuhi syarat
untuk mengasuh sebagimana disebutkan di atas. Bila salah satu memenuhi syarat
dan yang satu lagi tidak, maka tidak si anak diserahkan kepada yang memenuhi
syarat, baik ayah atau ibu.
2) Si anak tidak dalam keadaan ideot.
Bila anak dalam keadaan ideot, meskipun telah melewati masa kanak-kanak, maka
ibu yang berhak mengasuh, dan tidak ada hak pilih untuk si anak.
D. Pengaruh
Perceraian Terhadap Pengasuhan Anak Menurut KHI
Bila
terjadi pemutusan perkawinan karena perceraian, baik ibu maupun bapak tetap
berkewajiban memelihara dan medidik anak-anaknya semata-mata demi kepentingan
si anak, jika terjadi perselisihan antara suami istri menenai penguasaan
anak-anak mereka, pengadilan akan memutuskan tentang siapa yang akan menguasai
anak tersebut.
Dalam
KHI diatur pada bab XIV tentang pemeliharaan anak dari pasal 98-106, dan yang
mengatur masalah kewajiban pemeliharaan anak jika terjadi perceraian hanya
terdapat dalam pasal 105.
Pasal 105
berbunyi:
Dalam hal
terjadinya perceraian:
a) Pemeliharaan
anak yang belum mumayyiz atau belum berumur 12 tahun adalah hak ibunya.
b) Pemeliharaan
anak yang sudah mumayyiz diserahkan kepada anak untuk memilih diantara ayah dan
ibunya sebagai pemegang hak pemeliharaannya.
c) Biaya
pemeliharaan ditanggung oleh ayahnya.
Kemudian
dalam bab XVII tentang akibat putusnya perkawinan bagian ketiga tentang akibat
perceraian dalam pasal 156 dijelaskan:
Pasal 156
berbunyi:
Akibat
putusnya perkawinan karena perceraian adalah:
a) Anak yang
belum mumayyiz berhak mendapatkan hadhanah dari ibunya, kecuali ibunya telah
meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh:
1.Wanita-wanita
dalam garis lurus ke atas dari ibu.
2.Ayah.
3.Wanita-wanita
dalam garis lurus ke atas dari ayah.
4.Saudara
perempuan dari anak yang bersangkutan.
5.Wanita-wanita
kerabat sedarah menurut garis samping dari ibu.
6.Wanita-wanita
kerabat sedarah menurut garis samping dari ayah.
b) Anak yang
sudah mumayyiz berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah dari ayah atau ibunya.
c) Apabila
pemegang hadhanah ternyata tidak dapat menjamin keselamatan jasmani dan rohani
anak, meskipun biaya nafkah dan hadanah telah dicukupi, maka atas permintaan
kerabat yang bersangkutan Pengadilan Agama dapat memindahkan hak hadhanah
kepada kerabat lain yang mempunyai hak hadhanah pula.
d) Semua biaya
hadhanah dan nafakah anak menjadi tanggungan ayah menurut kemampuannya,
sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri
(21 tahun).
e) Bilamana
terjadi perselisihan mengenai hadhanah adan nafkah anak, Pengadilan Agama
memberikan putusannya berdasarkan huruf (a), (b), (c) dan (d).
f) Pengadila
dapat pula dengan mengingat kemampuan ayahnya menetapkan jumlah biaya untuk
pemeliharaan dan pendidikan anak-anak yang tidak urut padanya.
E. Hikmah Mengasuh Anak
Hikmah mengasuh anak dilihat dari dua
sisi:
1) Tugas laki-laki dalam urusan
penghidupan dan masyarakat berbeda dengan tugas wanita. Perhatian seorang ibu
terhadap anak lebih tepat dan lebih cocok, karena memelihara anak adalah
merupakan keistimewaan ibu.
2) Seorang ibu itu mempunyai rasa belas
kasihan lebih besar terhadap anaknya dibanding ayah.
Adapun hikmah
yang terkandung, mengapa mengasuh anak laki-laki sampai berumur 7 tahun dan
anak perempuan hingga berusia 9 tahun adalah karena anak laki-laki dalam usia 7
tahun sudah siap untuk menuntut ilmu pengetahuan, adab dan pendidikannya, serta
kesempurnaan kehidupan materi dan segala yang mengandung kebahagiaan dunia dan
akhirat. Sedangkan perempua lebih membutuhkan pemeliharaan terhadap
kehidupannya. Dalam hal ini ibu lebih banyak berperan dibanding ayah. Selama
dalam masa asuh, seorang ibu mengajarkan kepada anak perempuannya beberapa cara
mengatur rumah tangga karena nanti pada akhirnya anak perempuan itu akan
menjadi istri bagi suaminya dan sebagai ibu rumah tangga. Setelah masa asuh
itu, ayah lebih berhak mendidiknya tentang pendidikan akhlak serta mengajarkan
ilmu-ilmu agama dan segala yang akan mendidik dirinya dan memperbaiki akhlaknya
agar bisa mendapatkan keutamaan dan kenikmatan dunia dan akhirat.
Artiel ini disusuan untuk memenuhi tugas makalah dalam mata kuliah "Hukum Perdata".
Tidak ada komentar:
Posting Komentar