Begitu indah setiap aturan yang dihadirkan oleh agama islam ini
bagi kehidupan manusia, semua sisi kehidupan mereka dipenuhi oleh rambu-rambu
yang tak hanya sarat dengan kemaslahatan, akan tetapi juga membebaskan manusia
dari barbagai macam bahaya. Bak sebuah santapan, maka kandungan dalam agama
islam ini mencakup banyak nutrisi yang sangat berguna bagi para pemeluknya.
Itulah substansi dari nilai-nilai dalam islam yang sangat kokoh melekat.
Agama islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin tentunya memiliki alasan logis yang dapat dibuktikan secara nyata di setiap kehidupan manusia, agama islam dengan semua hukum syari’at yang ada di dalamnya mengandung unsur kebaikan untuk setiap manusia itu sendiri, karena Allah swt yang telah menetapkannya tersebut menginginkan manusia mendapatkan kebaikan ketika menjalannkan syari’at-Nya, bukan untuk membebaninya di luar kemampuan manusia tersebut. Allah swt berfirman:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ ... ﴿٢٨٦﴾
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan
kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia
mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)
Dalam
ayat tersebut sudah jelas bahwasannya Allah swt tidak ingin membebani hamba-Nya
di luar kemampuannya, bahkan sebaliknya, Allah menginginkan kebaikan untuk
semua hamba-Nya.
Jika
kita melihat kepada praktik ibadah secara langsung, maka kita akan dapati bahwa
dalam setiap syari’at dan hukum yang Allah tetepkan itu semua mengandung unsur
kebaikan untuk manusia itu sendiri, banyak yang dapat kita jadikan sebagi
contoh, salah satunya yaitu shalat. Dalam pensyari’atan shalat ini dapat kita
ambil begitu banyak hikmah baik menurut kesehatan, psikologis, kemasyarakatan,
kedisiplinan dan lain sebagainya yang semuanya itu kembali kepada manusia itu
sendiri.
Banyak
kita dengar atau kita baca mengenai hikmah shalat jika dilihat dari kacamata
kesehatan, salah satunya yaitu Profesor Hembing yang beliau mengatakan bahwa
pada gerakan sujud dalam shalat itu semua otot akan mengalami kontraksi.
Akibatnya, bukan saja otot-otot itu akan menjadi besar dan kuat, tapi juga
membuat urat-urat darah, seperti pembuluh nadi (arteria), pembuluh darah
balik (venae), dan urat-urat getah bening (lympha) akan terpijat
atau terurut, sehingga membuat peredaran darah dan lympha menjadi
lancer. Beliau juga
menegaskan bahwa sujud sangat sangat baik untuk membantu pekerjaan jantung dan
menghindari mengkerutnya dinding-dinding pembuluh darah (arteriosclerosis).
Sewaktu kita
melakukan gerakan sujud, maka darah akan dikirim ke otak, berkumpul di otak,
dan mengalirkan kebutuhan oksigen untuk otak. Tentu oksigen ini sangat
dibutuhkan oleh otak kita. Bahkan, menurut para ahli kesehatan, otak
membutuhkan 20% oksigen dari seluruh oksigen yang masuk ke dalam tubuh.
Kemudian setelah
sujud, lalu kita duduk (iftirasy) atau berdiri kembali sehingga
menyebabkan darah turun dari otak dan kembali lagi ke seluruh tubuh sesuai
dengan fisiologi tubuh. Proses sirkulasi darah itu mengangkut darah yang baru
untuk memberikan zat pembakar (oksigen) kepada jaringan-jaringan tubuh.
Selanjutnya jika
kita melihat dari sisi kacamata psikologi, atau ilmu kejiwaan yang dapat kita
kaitkan dengan muatan akhlak sesorang, menurut Syaikh Muhammad Rasyid Ridha
alangkah ruginya jika seseorang mengerjakan shalat tapi ternyata ia masih
berakhlak buruk. Hal itu mengisyaratkan bahwa kita hanya mendapatkan rasa letih
dari shalat yang kita kerjakan, dan tanpa disadari kita telah menjauh dari
Allah swt.
Rasulullah saw
pernah bersabda:
“barang siapa yang shalatnya tidak mencegah dari perbuatan keji dan
mungkar, ia tidak bernilai apa-apa selain menjauhkan dirinya dari Allah.” (HR. At-Tabrani)
Dalam Al-Qur’an pun, Allah swt talah menjelaskan kepada
kita, yaitu:
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ ۗ ...﴿٤٥﴾
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan)
keji dan mungkar.” (QS. Al-Ankabut: 45)
Dari
ayat tersebut di atas sudah sangat jelas bahwa jika seseorang mengerjakan
shalat dengan benar sesuai yang diajarkan oleh Rasul-Nya maka shalatnya
tersebut dapat mencegahnya dari perbuatan keji dan mungkar. Jika seseorang yang
rajin menjalankan shalat, ketika ia akan melakukan suatu perbuatan yang
menyimpang, pasti ia akan berfikir ulang untuk melakukan hal tersebut, karena
ia tau bahwa tidak pantas jika seorang muslim yang rajin menjalankan shalat
tapi di sisi lain ia juga masih melakukan hal-hal yang dilarang. Hal ini
menunjukan bahwa shalat ini berperan dan mampu menjadi sarana pembentukan
akhalak (character building).
Shalat
yang hanya memakan waktu sangat singkat, hanya beberapa menit saja dalam waktu
sehari (24 jam), akan tetapi dengan shalat tersebut dapat memberikan efek dan
bekas (atsar) yang baik terhadap si pelakunya tersebut dengan mengahayati
dan meneladani nilai-nilai dalam ibadah shalat itu sendiri.
Selanjutnya
shalat jika ditinjau dari segi sosial kemasyarakatan. Dalam kaitannya ini,
shalat berjama’ah adalah salah satu ibadah yang berhubungan dengan sosial
kemasyarakan, Rasulullah saw bersabda:
مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلَا بَدْوٍ لَا
تُقَامُ فِيهِمْ الصَّلَاةُ إِلَّا قَدْ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ
فَعَلَيْكَ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ
"Tidaklah
tiga orang di suatu desa atau lembah yang tidak didirikan shalat berjamaah di lingkungan mereka, melainkan setan
telah menguasai mereka. Karena itu tetaplah kalian berjamaah, karena sesungguhnya
serigala itu hanya akan memakan kambing yang sendirian (jauh dari
kawan-kawannya)." (HR. Abu Dawud, Hadist No: 460)
Dalam hadist tersebut di atas
menunjukan bahwa shalat berjam’ah itu mengajarkan kita untuk selalu hidup
bersama supaya tercipta rasa kebersamaan yang kuat diantara kaum muslimin, yang
menjadikan mereka semakin memiliki kekuatan dengan bersatunya mereka.
Allah Ta’ala juga berfirman mengenai
masalah ini:
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ ﴿١﴾ فَذَٰلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ ﴿٢﴾ وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ الْمِسْكِينِ ﴿٣﴾ فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ ﴿٤﴾
الَّذِينَ هُمْ
عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ ﴿٥﴾
الَّذِينَ هُمْ
يُرَاءُونَ ﴿٦﴾ وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ ﴿٧﴾
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?. Itulah orang yang
menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan
memberi makan orang miskin. kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan
(menolong dengan) barang berguna.” (QS. Al-Ma’un: 1-7)
Banyak
yang menafsirkan bahwa surah al-Ma’un ini berbicara mengenai hubungan
antara ibadah shalat dan sikap sosial kemasyarakatan. Kita diajari bagaimana bersosialisasi
dengan masyarakat, karena dalam surah tersebut menyebutkan antara ibadah shalat
dan menyantuni anak yatim, yang keduanya saling berhubungan. Oleh karena itu,
jika kita perhatikan banyak ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menyebutkan lafadz ash-shalat
dan az-zakat secara bersamaan atau bergandengan, karena memang diantara
keduanya tersebut memiliki hubungan yang sangat erat. Seorang muslim yang rajin
mengerjakan shalat itu belum sempurna jika ia hanya sibuk beribadah kepada
Allah saja tanpa ia merespon kepada masyarakat disekitarnya. Karena seorang muslim
yang baik adalah ia yang bisa menyeimbangkan antara hak-hak Allah dan hak-hak
kepada sesama manusia, atau kita sebut dengan istilah hubungan Vertikal dan
Horizontal.
Dengan
ibadah shalat ini pun kita diajari bagaimana untuk hidup disiplin dan dapat
menghargai waktu dengan baik. Karena setiap kita mendengar seruan adzan
berkumandang, maka kita diperintahkan untuk segera meninggalkan aktifitas
keduniaan kita dan menjawab seruan adzan tersebut untuk menjalankan shalat.
Dari
beberapa uraian tersebut diatas, kita sedikit dapat mengetahui akan makna yang
tersimpan dalam salah satu ibadah yang telah diwajibkan Allah kepada kita, dan
semua itu adalah untuk kebaikan manusia itu sendiri, karena manusialah yang
seharusnya merasa butuh akan ibadah ini, dan tidak mengaggapnya sebagai beban
dalam menjalankannya.
Oleh
sebab itu, dapat kita simpulkan bahwasannya salah satu misi dalam agama islam
ini adalah “jalbul mashalih” dan “dar’ul mafasid” (mewujudkan
kemaslahatan dan menolak atau menghindari kemadharatan).
جَلْبُ المصَالِح وَ دَرْءُ
المفَاسِد
Pengertian
secara golabalnya adalah bahwa agama islam ini selalu mendatangkan kemaslahatan
dalam setiap syari’atnya dan menghindarkan dari hal-hal yang madharat. Tidak ada kebaikan bagi umat manusia kecuali islam telah menetapkannya,
dan tiada keburukan yang mengancam manusia malainkan islam telah memperinagtkan
dan melarangnya. Allah swt telah berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ ﴿١٠٧﴾
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi)
rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya’: 107)
Dengan
demikian, substansi dalam ajaran islam ini bertumpu pada 2 poin tersebut, yaitu
daam rangka menghadirkan kamaslahatan dan menolak kemadharatan
dalam kehidupan manusia itu sendiri. Sudah sangat jelas sekali bagaimana
perhatian islam terhadap kebaikan manusia secara khusus yang nantinya akan membawa
manusia untuk meraih kebahagiaan yang hakiki baik di dunia maupun di akhirat
kelak.
Oleh
karena itu, benar-benar kekeliruan yang fatal jika seseornag yang mengaku beriman
akan tetapi ia mengingkari bahwa dalam setiap hukum yang disyari’atkan oleh
Allah swt tidak atau kurang mendatangkan maslahat bagi manusia baik di
kehidupannya di dunia atau di kehidupannya kelak di akhirat.
(tulisan ini disusun sebagai salah satu tugas dalam mata kuliah "Filsafat Hukum Islam")
Tidak ada komentar:
Posting Komentar