Fuad Syarif Hidayatullah
Home » » Prinsip Hukum Islam “Mengungkap Makna di Balik Shalat”

Prinsip Hukum Islam “Mengungkap Makna di Balik Shalat”

Kamis, 24 Oktober 2013 | 0 komentar

Begitu indah setiap aturan yang dihadirkan oleh agama islam ini bagi kehidupan manusia, semua sisi kehidupan mereka dipenuhi oleh rambu-rambu yang tak hanya sarat dengan kemaslahatan, akan tetapi juga membebaskan manusia dari barbagai macam bahaya. Bak sebuah santapan, maka kandungan dalam agama islam ini mencakup banyak nutrisi yang sangat berguna bagi para pemeluknya. Itulah substansi dari nilai-nilai dalam islam yang sangat kokoh melekat.

Agama islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin tentunya memiliki alasan logis yang dapat dibuktikan secara nyata di setiap kehidupan manusia, agama islam dengan semua hukum syari’at yang ada di dalamnya mengandung unsur kebaikan untuk setiap manusia itu sendiri, karena Allah swt yang telah menetapkannya tersebut menginginkan manusia mendapatkan kebaikan ketika menjalannkan syari’at-Nya, bukan untuk membebaninya di luar kemampuan manusia tersebut. Allah swt berfirman:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ ... ﴿٢٨٦﴾
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.” (QS. Al-Baqarah: 286)
Dalam ayat tersebut sudah jelas bahwasannya Allah swt tidak ingin membebani hamba-Nya di luar kemampuannya, bahkan sebaliknya, Allah menginginkan kebaikan untuk semua hamba-Nya.
Jika kita melihat kepada praktik ibadah secara langsung, maka kita akan dapati bahwa dalam setiap syari’at dan hukum yang Allah tetepkan itu semua mengandung unsur kebaikan untuk manusia itu sendiri, banyak yang dapat kita jadikan sebagi contoh, salah satunya yaitu shalat. Dalam pensyari’atan shalat ini dapat kita ambil begitu banyak hikmah baik menurut kesehatan, psikologis, kemasyarakatan, kedisiplinan dan lain sebagainya yang semuanya itu kembali kepada manusia itu sendiri.
Banyak kita dengar atau kita baca mengenai hikmah shalat jika dilihat dari kacamata kesehatan, salah satunya yaitu Profesor Hembing yang beliau mengatakan bahwa pada gerakan sujud dalam shalat itu semua otot akan mengalami kontraksi. Akibatnya, bukan saja otot-otot itu akan menjadi besar dan kuat, tapi juga membuat urat-urat darah, seperti pembuluh nadi (arteria), pembuluh darah balik (venae), dan urat-urat getah bening (lympha) akan terpijat atau terurut, sehingga membuat peredaran darah dan lympha menjadi lancer. Beliau juga menegaskan bahwa sujud sangat sangat baik untuk membantu pekerjaan jantung dan menghindari mengkerutnya dinding-dinding pembuluh darah (arteriosclerosis).
Sewaktu kita melakukan gerakan sujud, maka darah akan dikirim ke otak, berkumpul di otak, dan mengalirkan kebutuhan oksigen untuk otak. Tentu oksigen ini sangat dibutuhkan oleh otak kita. Bahkan, menurut para ahli kesehatan, otak membutuhkan 20% oksigen dari seluruh oksigen yang masuk ke dalam tubuh.
Kemudian setelah sujud, lalu kita duduk (iftirasy) atau berdiri kembali sehingga menyebabkan darah turun dari otak dan kembali lagi ke seluruh tubuh sesuai dengan fisiologi tubuh. Proses sirkulasi darah itu mengangkut darah yang baru untuk memberikan zat pembakar (oksigen) kepada jaringan-jaringan tubuh.
Selanjutnya jika kita melihat dari sisi kacamata psikologi, atau ilmu kejiwaan yang dapat kita kaitkan dengan muatan akhlak sesorang, menurut Syaikh Muhammad Rasyid Ridha alangkah ruginya jika seseorang mengerjakan shalat tapi ternyata ia masih berakhlak buruk. Hal itu mengisyaratkan bahwa kita hanya mendapatkan rasa letih dari shalat yang kita kerjakan, dan tanpa disadari kita telah menjauh dari Allah swt.
Rasulullah saw pernah bersabda:
“barang siapa yang shalatnya tidak mencegah dari perbuatan keji dan mungkar, ia tidak bernilai apa-apa selain menjauhkan dirinya dari Allah.” (HR. At-Tabrani)
Dalam Al-Qur’an pun, Allah swt talah menjelaskan kepada kita, yaitu:
إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنكَرِ ۗ ...﴿٤٥﴾
“Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar.” (QS. Al-Ankabut: 45)
Dari ayat tersebut di atas sudah sangat jelas bahwa jika seseorang mengerjakan shalat dengan benar sesuai yang diajarkan oleh Rasul-Nya maka shalatnya tersebut dapat mencegahnya dari perbuatan keji dan mungkar. Jika seseorang yang rajin menjalankan shalat, ketika ia akan melakukan suatu perbuatan yang menyimpang, pasti ia akan berfikir ulang untuk melakukan hal tersebut, karena ia tau bahwa tidak pantas jika seorang muslim yang rajin menjalankan shalat tapi di sisi lain ia juga masih melakukan hal-hal yang dilarang. Hal ini menunjukan bahwa shalat ini berperan dan mampu menjadi sarana pembentukan akhalak (character building).
Shalat yang hanya memakan waktu sangat singkat, hanya beberapa menit saja dalam waktu sehari (24 jam), akan tetapi dengan shalat tersebut dapat memberikan efek dan bekas (atsar) yang baik terhadap si pelakunya tersebut dengan mengahayati dan meneladani nilai-nilai dalam ibadah shalat itu sendiri.
Selanjutnya shalat jika ditinjau dari segi sosial kemasyarakatan. Dalam kaitannya ini, shalat berjama’ah adalah salah satu ibadah yang berhubungan dengan sosial kemasyarakan, Rasulullah saw bersabda:
مَا مِنْ ثَلَاثَةٍ فِي قَرْيَةٍ وَلَا بَدْوٍ لَا تُقَامُ فِيهِمْ الصَّلَاةُ إِلَّا قَدْ اسْتَحْوَذَ عَلَيْهِمْ الشَّيْطَانُ فَعَلَيْكَ بِالْجَمَاعَةِ فَإِنَّمَا يَأْكُلُ الذِّئْبُ الْقَاصِيَةَ
"Tidaklah tiga orang di suatu desa atau lembah yang tidak didirikan shalat berjamaah di lingkungan mereka, melainkan setan telah menguasai mereka. Karena itu tetaplah kalian berjamaah, karena sesungguhnya serigala itu hanya akan memakan kambing yang sendirian (jauh dari kawan-kawannya)." (HR. Abu Dawud, Hadist No: 460)
Dalam hadist tersebut di atas menunjukan bahwa shalat berjam’ah itu mengajarkan kita untuk selalu hidup bersama supaya tercipta rasa kebersamaan yang kuat diantara kaum muslimin, yang menjadikan mereka semakin memiliki kekuatan dengan bersatunya mereka.
Allah Ta’ala juga berfirman mengenai masalah ini:
أَرَأَيْتَ الَّذِي يُكَذِّبُ بِالدِّينِ ﴿١﴾ فَذَٰلِكَ الَّذِي يَدُعُّ الْيَتِيمَ ﴿٢﴾ وَلَا يَحُضُّ عَلَىٰ طَعَامِ الْمِسْكِينِ ﴿٣﴾ فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ ﴿٤﴾ الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ ﴿٥﴾ الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ ﴿٦﴾  وَيَمْنَعُونَ الْمَاعُونَ ﴿٧﴾
“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?. Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang berbuat riya, dan enggan (menolong dengan) barang berguna.”  (QS. Al-Ma’un: 1-7)
Banyak yang menafsirkan bahwa surah al-Ma’un ini berbicara mengenai hubungan antara ibadah shalat dan sikap sosial kemasyarakatan. Kita diajari bagaimana bersosialisasi dengan masyarakat, karena dalam surah tersebut menyebutkan antara ibadah shalat dan menyantuni anak yatim, yang keduanya saling berhubungan. Oleh karena itu, jika kita perhatikan banyak ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang menyebutkan lafadz ash-shalat dan az-zakat secara bersamaan atau bergandengan, karena memang diantara keduanya tersebut memiliki hubungan yang sangat erat. Seorang muslim yang rajin mengerjakan shalat itu belum sempurna jika ia hanya sibuk beribadah kepada Allah saja tanpa ia merespon kepada masyarakat disekitarnya. Karena seorang muslim yang baik adalah ia yang bisa menyeimbangkan antara hak-hak Allah dan hak-hak kepada sesama manusia, atau kita sebut dengan istilah hubungan Vertikal dan Horizontal.
Dengan ibadah shalat ini pun kita diajari bagaimana untuk hidup disiplin dan dapat menghargai waktu dengan baik. Karena setiap kita mendengar seruan adzan berkumandang, maka kita diperintahkan untuk segera meninggalkan aktifitas keduniaan kita dan menjawab seruan adzan tersebut untuk menjalankan shalat.
Dari beberapa uraian tersebut diatas, kita sedikit dapat mengetahui akan makna yang tersimpan dalam salah satu ibadah yang telah diwajibkan Allah kepada kita, dan semua itu adalah untuk kebaikan manusia itu sendiri, karena manusialah yang seharusnya merasa butuh akan ibadah ini, dan tidak mengaggapnya sebagai beban dalam menjalankannya.
Oleh sebab itu, dapat kita simpulkan bahwasannya salah satu misi dalam agama islam ini adalah “jalbul mashalih” dan “dar’ul mafasid” (mewujudkan kemaslahatan dan menolak atau menghindari kemadharatan).
جَلْبُ المصَالِح وَ دَرْءُ المفَاسِد
Pengertian secara golabalnya adalah bahwa agama islam ini selalu mendatangkan kemaslahatan dalam setiap syari’atnya dan menghindarkan dari hal-hal yang madharat. Tidak ada kebaikan bagi umat manusia kecuali islam telah menetapkannya, dan tiada keburukan yang mengancam manusia malainkan islam telah memperinagtkan dan melarangnya. Allah swt telah berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ ﴿١٠٧﴾
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya’: 107)
Dengan demikian, substansi dalam ajaran islam ini bertumpu pada 2 poin tersebut, yaitu daam rangka menghadirkan kamaslahatan dan menolak kemadharatan dalam kehidupan manusia itu sendiri. Sudah sangat jelas sekali bagaimana perhatian islam terhadap kebaikan manusia secara khusus yang nantinya akan membawa manusia untuk meraih kebahagiaan yang hakiki baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Oleh karena itu, benar-benar kekeliruan yang fatal jika seseornag yang mengaku beriman akan tetapi ia mengingkari bahwa dalam setiap hukum yang disyari’atkan oleh Allah swt tidak atau kurang mendatangkan maslahat bagi manusia baik di kehidupannya di dunia atau di kehidupannya kelak di akhirat.
(tulisan ini disusun sebagai salah satu tugas dalam mata kuliah "Filsafat Hukum Islam")
Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Cahaya diatas Cahaya - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger