Fuad Syarif Hidayatullah
Home » » Membangun Tradisi Ilmi di Kalangan Remaja

Membangun Tradisi Ilmi di Kalangan Remaja

Jumat, 08 November 2013 | 0 komentar

Telah nampak di depan kita fenomena yang asyik di masyarakat muda. Mereka jauh dari tradisi ilmu yang ingin kita bangun. Usia muda yang sebenarnya penuh dengan potensi, tersia siakan karena fokus yang sudah pecah. Remaja lebih menyukai hiburan daripada menyukai hal hal yang berbau ilmu dan peradaban.

Gempuran raksasa hiburan seperti Hollywood dengan film filmnya plus gempuran dari dalam negeri berupa media televisi memang bukan dianggap sesuatu yang remeh. Bagi remaja dua raksasa itu sudah merupakan hambatan terbesar mereka tuk lebih tertarik pada ilmu. Jujur saja, buku sangat nampak tidak menarik bila disejajarkan dengan playstation atau film box office.

Jika hal ini dibiarkan tanpa ada proses pencegahan, maka generasi kita akan hilang. Mereka lebih paham soal hiburan daripada soal keilmuan. Mereka hanya bergairah pada soal soal pelampiasan nafsu daripada pelampiasan ilmu.

Setelah turunnya lima ayat pertama yang dimulai dengan iqra’, Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT) menurunkan lagi ayat yang diawali dengan kalimat, “Nuun, wal Qalami wamaa yasthuruun.” (Nuun, demi pena dan apa yang mereka tulis).

Hal ini menunjukkan bahwa Islam memberi perhatian yang sangat tinggi pada tradisi keilmuan. Membaca dan menulis adalah pilar ilmu yang kokoh. Sementara ilmu itu sendiri adalah pilar peradaban mulia yang kita inginkan bersama.

Itulah sebabnya, tradisi ilmiah telah begitu melekat pada generasi terbaik Islam pada masa lalu. Sayangnya, kini tradisi itu tergerus seiring merajalelanya peradaban jahiliah.

Bagaimana umat Islam dapat mengembalikan tradisi ilmu sebagaimana generasi Islam terdahulu? Berikut beberapa tips dalam lingkup pribadi, keluarga, dan masyarakat.

Tumbuhkan kesadaran akan keutamaan ilmu.
Kebanyakan masyarakat lebih memilih hal-hal pragmatis dan instan untuk memperoleh kesenangan dunia yang sifatnya sesaat, seperti kekuasaan dan banyaknya harta. Padahal, Allah SWT telah menegaskan keutamaan ilmu dan orang-orang yang berilmu dibanding hal-hal yang bersifat duniawi.

Di antara kemuliaan itu adalah memperoleh derajat yang tinggi (az-Zumar [39]: 9 dan al-Baqarah [2]: 269), mampu memahami ayat-ayat Allah SWT (al-Ankabut [29]: 43), dan lebih takut kepada Allah SWT (Fathir [35]: 26).

Dari semua keistimewaan ini seharusnya umat Islam sadar akan pentingnya ilmu dan perlunya mencari ilmu, baik bagi diri, keluarga, maupun masyarakat.

Kembangkan kemampuan menulis.
Sedari awal, Islam memberikan perhatian pada aktivitas menulis. Buktinya, salah satu surat al-Qur`an diberi nama al-Qalam, yang berarti pena. Al-Qur`an juga meminta kaum Mukmin untuk mencatat saat melakukan transaksi pinjam-meminjam.

Bukti lain adalah Piagam Madinah. Para ahli sejarah menyimpulkan bahwa piagam ini terkategori sebagai konstitusi pertama yang dibuat secara tertulis. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) juga memiliki beberapa orang sekretaris yang bertugas untuk menulis.

Para salafus shaleh dan ulama-ulama kita merupakan generasi yang sangat produktif dalam membuat karya tulis. Ribuan kitab yang menjadi rujukan umat Islam dalam hal tafsir, hadits, fiqih, aqidah, akhlak, serta ilmu pengetahuan alam, merupakan buah karya dari tradisi ilmu yang dimiliki oleh ulama-ulama kita di masa lalu dan hingga kini menjadi sumber inspirasi bagi pengembangan ilmu pengetahuan modern.

Dengan berbagai teladan ini seharusnya kita, generasi Muslim, lebih produktif dalam melahirkan karya-karya tulis yang bermanfaat bagi kemajuan Islam dan kemanusiaan.

Hormati ilmu dan orang-orang yang berilmu
Imam Malik pernah dipanggil oleh Khalifah Harun al-Rasyid ke istana untuk mengajari putranya kitab al-Muwaththa’. Imam Malik datang ke istana, tetapi tidak untuk mengajar.

Imam Malik malah menasehati khalifah. Katanya, “Rasyid, Hadits merupakan ilmu yang dihormati dan dijunjung tinggi oleh leluhur Anda. Bila sebagai khalifah Anda tidak menghormatinya, maka tidak seorangpun yang akan menaruh penghormatan lagi. Manusialah yang mencari ilmu dan bukan ilmu yang mencari manusia.”

Akhirnya khalifah menyadari bahwa ia mesti memuliakan ilmu dan orang-orang yang berilmu. Khalifah dan kedua putranya datang ke tempat Imam Malik untuk mengikuti kuliah al-Muwaththa’ bersama masyarakat banyak.

Mengingat kedudukan ilmu sangat tinggi dalam Islam, selayaknya kaum Muslim memberikan penghargaan yang tinggi kepada ilmu dan orang-orang yang memiliki ilmu. Penghargaan itu tidak selalu dalam bentuk materi tetapi juga menempatkan kedudukan ulama (orang-orang yang berilmu) pada maqam yang terhormat.

Memberi hadiah dengan buku
Memberi hadiah merupakan salah satu tradisi dalam Islam. Bahkan, saling memberi hadiah dapat menumbuhkan perasaan saling mencintai di antara sesama Muslim.
Nah, alangkah baiknya bila hadiah ini berwujud barang yang bisa menumbuhkan kecintaan terhadap ilmu. Apalagi kalau bukan buku.

Menyediakan perpustakaan
Perpustakaan merupakan sumber belajar bagi setiap orang yang haus akan ilmu. Selayaknya setiap keluarga memiliki perpustakaan keluarga.
Sediakanlah buku-buku yang memuat pengetahuan wajib buat kaum Muslim, seperti terjemahan al-Qur`an, buku aqidah, fiqih, akhlak, dan sirah Nabi SAW. Lebih bagus lagi jika dilengkapi buku-buku Islam kontemporer dan ilmu pengetahuan lain yang bermanfaat.

Demikian juga di setiap sekolah dan lembaga pendidikan selayaknya menyediakan perpustakaan yang jauh lebih lengkap dari perpustakaan keluarga.
Di era digital seperti saat ini, perpustakaan bisa dibangun dengan cara yang lebih efisien dan biaya murah. Yaitu, lewat komputerisasi.

Hanya dengan sebuah komputer kita dapat menyimpan jutaan kitab, berlembar-lembar dokumen, film, foto-foto, dan berbagai bentuk informasi lain yang diperlukan. Belum lagi bila kita menambahkan akses internet pada komputer tersebut.

Mengutamakan hujjah dari pada adu fisik.
Mukmin diperintahkan oleh Allah SWT untuk menyeru manusia secara hikmah dan membantah mereka dengan hujjah yang kokoh. “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (an-Nahl [16]: 125)

Ayat tersebut menunjukkan bahwa umat Islam harus memiliki hujjah (argumen) yang kuat dalam dakwah. Hujjah yang kuat dalam pandangan Islam terdiri dari Kitabullah (al-Qur`an), kemudian as-Sunnah (Hadits Rasulullah SAW), barulah ijtihad orang-orang yang memiliki ilmu di bidangnya.

Kendala dan Solusi
Ada sejumlah kendala membangun tradisi keilmuan pada diri kaum Muslim, keluarga, atau masyarakat yang lebih luas. Namun, kendala-kendala tersebut bukan tanpa jalan keluar.
Berikut adalah sejumlah kendala tersebut:

Kurangnya kesadaran terhadap ilmu
Harus kita akui, kesadaran umat Islam terhadap tradisi keilmuan saat ini sangat rendah. Mereka menjadikan pendidikan sebagai urusan ke sekian, kalah dengan urusan hiburan. Akibatnya, persoalan kemiskinan, kebodohan, dan keterbelakangan, tak kunjung terpecahkan hingga saat ini.

Seharusnya, setiap keluarga Muslim sadar akan pentingnya ilmu. Bahkan, jauh lebih sadar dibanding mereka yang tidak pernah bersyahadat. Bukan malah sebaliknya, ilmu lebih banyak dikuasai oleh orang-orang non-Muslim.

Jadi, setiap keluarga muslim selayaknya menjadi teladan untuk membangun tradisi ilmu, bukan malah mengekang atau membatasi diri.

Malas berusaha
Sifat malas masih banyak menjangkiti masyarakat kita. Mereka tidak mau berusaha keras dan bersusah payah untuk mempersiapkan diri dengan menuntut ilmu.

Hal ini karena menuntut ilmu memerlukan biaya yang tidak kecil, waktu yang lama, dan kemauan yang keras.
Umumnya, masyarakat kita lebih memilih sesuatu yang bersifat instan untuk mengubah nasibnya. Sesuatu yang menjanjikan keuntungan besar dengan pengorbanan yang kecil.

Kurangnya tanggungjawab pemimpin
Para pemimpin kita masih lebih mementingkan pembangunan fisik ketimbang meningkatkan kualitas manusia. Boleh jadi ini disebabkan pembangun fisik lebih nyata terlihat hasilnya dibandingkan pembangunan manusia. Membangun manusia tidak dapat langsung dilihat hasilnya. Padahal, pengaruhnya sangat besar bagi kemajuan bangsa.

Dengan kata lain, posisi pemimpin menjadi sangat penting. Pemimpin yang tak paham pentingnya ilmu tak akan mendukung terbangunnya tradisi keilmuan di tengah masyarakat. Apalagi pemimpin yang tidak memiliki ilmu, akan mengambil kebijakan yang menyesatkan.

Abdullah bin Amr bin Ash berkata, ”Saya mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ’Sesungguhnya Allah tidak mencabut ilmu dengan mencabutnya langsung dari hamba-hamba-Nya. Akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan ulama, sehingga apabila tidak ada lagi orang alim, maka manusia mengambil pemimpin-pemimpin yang bodoh. Tatkala mereka ditanya, mereka berfatwa dengan tanpa ilmu, maka mereka itu sesat lagi menyesatkan.” (Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Ibnu Majah).

Maka, menjadi wajib bagi kita untuk memilih pemimpin yang berilmu dan mencintai ilmu, utamanya ilmu yang bersifat syar’i.

Oleh; Ust. Burhan Shadiq
Share this article :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Cahaya diatas Cahaya - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger